TEMPO.CO, Jakarta – Investigasi kecelakaan penerbangan Sriwijaya Air bernomor SJ-182 dengan rute Jakarta – Pontianak, pada Sabtu kemarin, diperkirakan bakal mencakup pemeriksaan kesehatan bisnis maskapai tersebut. Konsultan sekaligus pengamat penerbangan CommunicAvia, Gerry Soejatman, mengatakan kekuatan armada dan sumber daya manusia di grup Sriwijaya Air memang sudah tak optimal sejak sebelum pandemi.
“Ada tanda-tanda bahwa perusahaan sedang berusaha survive, tapi kita belum tahu ada tidaknya hubungan dengan maintenance dan kecelakaan,” katanya kepada Tempo, Ahad 10 Januari 2021.
Gerry meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menilisik kondisi bisnis Sriwijaya Air , sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyelidiki penyebab kecelakaan. “Kedua lembaga bisa memeriksa apakah ada keputusan perusahaan yang krusial terkait faktor keselamatan,” tuturnya. “Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) juga punya jadwal audit reguler.”
Layanan Sriwijaya sempat terseok setelah kerja sama manajemen (KSM) dengan grup Garuda Indonesia putus. Kolaborasi yang terjalin sejak November 2018 itu retak akibat perseteruan manajemen, persisnya karena silang pendapat soal biaya manajemen dan pembagian keuntungan.
Meski sempat rujuk pada Oktober 2019, kedua pihak akhirnya mengakhiri KSM pada awal bulan berikutnya. Saat itu, tiga anak usaha Garuda; PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF), PT Gapura Angkasa, serta PT Aerowisata, menarik seluruh layanan dari Sriwijaya.
Kepada Tempo, mantan pekerja Sriwijaya Air yang pernah bertugas di divisi Operation Support dan Engineering, mengatakan bahwa maskapai sempat hanya sanggup mengoperasikan 10 dari 36 pesawat yang dimiliki, belum termasuk Nam Air, menjelang Natal 2019. Kondisi yang disebabkan kekurangan mekanik dan suku cadang itu diperparah pemangkasan frekuensi terbang Sriwijaya, dari rata-rata 160 flight per hari menjadi hanya 70 flight.